Roman Hattin
Kisah kecamuk perang Hattin yang menentukan direbutnya kembali Palestina oleh Shalahuddin al Ayubi.
[Djenderal 4 Arwah]
Aku ingin melayani tuhan Yesus Kristus. Hal itulah yang membuatku berada di sini hari ini. Di sisi Karang Tanduk Hittin. Aku tegak kepada langit, setelah Tuhan sendiri memberi aku kehidupan sebagai manusia yang sesungguhnya.
Namaku Phillipe. Aku hanya seorang petani
miskin dari Chatillon yang berharap memasuki Kerajaan Sorga. Setiap hari aku berdoa dan menjalani Pengakuan. Tidak ada lagi kedamaian dan keadilan kurasakan. Tetangga-tetanggaku dan termasuk aku menderita karena pajak tinggi. Penjualan hasil panen tidak berguna karena harga sangat murah. Maka aku sambut seruan Uskup Rene yang datang ke rumahku membawa pesan dari Paus Agung. Tuhan telah memerintahkan prajurit-prajurit Kristus untuk mempertahankan Tanah Suci dari tangan Saracen yang barbar itu. Sebab mereka membunuhi dan mengganggu Misa umat Kristus. Tuhan telah menjanjikan pengampunan, Kerajaan Sorga dan harta yang melimpah bagi mereka yang mau menjadi Prajurit Kristus. Sungguh manis janji tuhan kepada Paus yang disampaikan Uskupnya kepadaku.
Kutinggalkan ayah dan ibuku. Aku bergabung dengan pasukan yang dipimpin Reynald de Chatillon. Kami berangkat ke Palestina untuk bergabung dengan Raja Baldwin yang memimpin Takhta Suci Jerussalem. Menjaga tanah suci tempat kelahiran tuhan Yesus yang telah direbut oleh Godfroi de Boullion dari tangan kaum Saracen. Dan lebih dari segalanya yang aku mau adalah Kerajaan Sorga.
[[]]
Aku sedang berpatroli di sekitar Karak pagi itu. Tak jauh dari tempatku berpatroli, Benteng Karak berdiri kokoh. Di sisinya bukit batu dan hamparan padang rumput hijau. Langit masih biru, matahari belum datang untuk mewarnai dengan kuas emasnya. Aku berpatroli bersama sebuah grup sebanyak sepuluh personil. Derap langkah kuda-kuda kami menerbangkan debu yang dingin dan berat oleh embun. Kami berkeliling di sekitar daerah itu, dan mengamankannya dari intaian dan serangan musuh.
Beberapa ratus meter jaraknya di depan kami, terlihat sebuah rombongan sedang melintas. George, sang Komandan grup patroli, tersenyum dan memerintahkan kami untuk memacu kuda menghadang kafilah itu. Begitu banyak ketidakmengertian lagi-lagi menyeruak di kepalaku.
Sebelum kami memacu kuda kami untuk mencegat rombongan itu, aku arahkan kudaku ke hadapan George.
“Apa yang akan kita lakukan, Komandan?”, tanyaku dengan gusar. “Kita terikat perjanjian dengan Saladin..!”
“Tugas suci kita, tentu saja!”, sahutnya sambil tersenyum padaku, seakan tidak terjadi apa2. “Sekarang pergi hadang mereka, itu perintah.!”.
Kami menghadang kafilah itu. Mereka terdiri dari wanita, dan orang tua yang kebanyakan dari mereka berpakaian putih-putih. Jumlah mereka sekitar lima puluh orang, dan tak berdaya.
“Berhenti!!”, raung salah seorang prajurit. George mencabut pedangnya dan mengacungkannya ke arah kafilah itu dari atas kudanya. Seluruh kawan-kawanku mengepung kafilah itu dan mencabut pedang mereka. “Serahkan apapun yang berharga yang kalian punya, lemparkan ke sana.”.
Ketakutan menjalar di dalam hati mereka. Walau mereka lebih banyak dari kami, tetap saja mereka tidak sebanding dengan kami karena kami bersenjata. Rombongan itu setahuku adalah rombongan ibadah yang sedang berangkat ke tanah suci orang-orang Saracen di Jazirah, dan sering mengambil rute ini dalam perjalanan mereka.
“Kami hanya rombongan haji.!”, kata seorang pemuda di antara mereka yang kurasa adalah pemimpin rombongan itu. Seorang perempuan berkerudung hitam dan sangat cantik merapat ketakutan di punggung pemuda itu. “Kami tidak bersenjata dan tidak bawa banyak barang berharga!”.
“Kalau bicara lagi kutebas lehermu!!”, George mengancam. Dirapatkannya ujung pedangnya yang tajam ke leher pria itu dari atas kudanya. “Lakukan!!!”.
“Kalian terikat perjanjian dengan sultan Shalahuddin.!!”, tukas pria itu.
“Cepat lakukan!!”, ujung pedang George menggores leher pria itu.
Para penodong yang celakanya adalah teman-temanku itu makin rapat mengepung rombongan dan mengancam setiap orang dengan senjata mereka.
“Kami turuti keinginanmu, tapi setelah itu biarkan kami pergi!”, mereka semua mengumpulkan keping emas dan perak yang mereka punya, kawan-kawanku tersenyum sinis melihatnya.
Tiba-tiba datanglah beberapa orang berkuda dari arah benteng. Mereka adalah Reynald de Chatillon dan dua orang pengawalnya. Demi melihat Reynald de Chatillon yang sangar itu kurasakan ketakutan makin merasuk ke dalam hati rombongan orang-orang Saracen. Dia berhenti di hadapan kami.
“Ada apa ini??”, dengan berteriak Reynald de Chatillon mengacungkan telunjuknya kepada kami.
“Kami sedang memungut pajak jalan, Yang Mulia!!”, sahut George.
Seperti orang gila, Reynald de Chatillon tertawa terbahak-bahak tak tentu sebab. Kudanya berjalan, dia mendekati George lantas menepuk-nepuk bahunya.
Aku memacu kudaku bergegas mendekati Reynald de Chatillon. “Maaf Yang Mulia, kita terikat perjanjian dengan Saladin tentang semua ini!”.
“Tuhan telah memberi kita hak suci untuk mengambil segala yang mereka punya.”, kata Reynald de Chatillon terkekeh. “Ya, segalanya! Maka persetan dengan segala perjanjian!”.
Reynald de Chatillon tertawa terbahak-bahak keras sekali kemudian pergi begitu saja bersama dua orang pengawalnya. Kami semua tertawa, kecuali aku.
“Phillipe…!!”, teriak George. “Bawa uang itu.”.
Aku langsung turun dari kuda dan melaksanakan perintahnya. Kumasukkan keping emas dan perak itu ke dalam sebuah kantong kulit dan cepat-cepat menyingkir. George turun dari kudanya. Pedangnya masih teracung ke leher pemuda itu, si perempuan ketakutan di belakangnya. Tak kusangka, George menarik perempuan itu ke arahnya.
“Jaanggaaaannn!!!!”, teriak Pria Pemimpin rombongan Saracen itu. Perempuan itu menjerit. Pria itu hendak membela si perempuan namun George menusukkan pedangnya ke perut pria itu dan mencabutnya lagi. Darah terpancar ke tanah, pemuda itu tersungkur. George menyeret perempuan itu, dan merobek pakaiannya dengan pedang lantas memperkosanya di hadapan semua orang. Perempuan itu menjerit, meratap, menangis tak berdaya kepada Tuhannya.
“Panggil Tuhanmu kemari!!!”, hardik George. “Mana Muhammad???”. Perempuan itu meronta!
Aku terpaku, menunduk, menatap sekantung uang dengan gemetar. Kawan2ku yang lain mengayunkan pedangnya, memenggal, mencabik, mencincang. Jeritan merobek angkasa. Mereka membunuh semua orang Saracen di dalam rombongan itu. Debu beterbangan, sebagian basah oleh darah. Kulihat mereka memotong orang2 tua tak berdaya dan wanita. Puas membunuh, mereka memperkosa perempuan cantik yang tadi diperkosa George. Sungguh kasihan perempuan itu, jeritannya telah habis, kehormatannya terkoyak. Aku hanya bisa berdiri di sisi sekantung uang, dan diam saja melihat orang2 yang merasa lebih berkuasa mencabut nyawa daripada malaikat kematian.
“Hei…Phillipe.!!”, teriak George. “Mau mencoba?”. Dia menunjuk perempuan setengah telanjang yang terbaring di atas tanah itu sambil cengar-cengir. Air matanya berlinang lemah. “Kami semua sudah…”.
Aku menggeleng dalam kecamuk. George menancapkan pedangnya ke perut perempuan itu sampai tembus ke tanah. Berakhirlah sudah penderitaannya di dunia. Kubuat salib antara dahi dan dadaku mendoakan rohnya. Hidup sungguh penuh dengan derita.
Kami pulang ke benteng bersama dengan barang rampasan dan tunggangan dari rombongan Saracen itu saat hari beranjak siang. Kami membiarkan mayat mereka bergelimpangan di tengah jalan.
“Kau telah membuat Saladin murka, dan dia akan datang menghancurkan kita, Komandan!”, kataku.
“Aku tidak takut pada Saladin!!”, sesumbar George. “Akan aku tantang dia berkelahi!”.
“Aku akan mengubur mayat2 mereka.”.
“Kau ini kenapa?”, tanya George. “Tidak perlu kasihan kepada mereka!”.
“Tuhan Yesus mengajarkan belas kasihan.”
“Bukan kepada Saracen!!”, sahut George ketus. “Terserah kau sajalah!!.”.
Aku memecut kudaku kembali ke ladang pembantaian itu. Mayat2 tak lengkap bergelimpangan di sana, darah bersimbah di mana2. Aku menangis melihat semuanya ini! Tuhan Yesus Kristus mengajarkan kasih sayang, setahuku. Tapi kenapa harus ada hak suci untuk membunuh, merampok, memperkosa, dan menganiaya orang2 yang lemah, seperti apa yang dikatakan Reynald de Chatillon dan Paus sendiri? Segala tanda tanya ini terus bersemayam di tempurung kepalaku semenjak aku mengenakan pakaian berlambang salib merah dan menyandang pedang di pinggangku sebagai tentara Kristus. Begitu banyak hal yang tidak aku mengerti, setelah kudengar bahwa orang2 Saracen telah dibantai ketika tentara Kristus yang pertama pimpinan Godfroi de Boullion menaklukkan Palestina hampir seratus tahun lalu.
Kuturuni kudaku. Kulihat mayat2 orang Saracen itu. Mereka sedang dalam perjalanan untuk ibadah, namun mereka harus berakhir di sini. Matahari beranjak naik sementara aku menggali lubang2 kubur di sisi jalan. Kumasukkan mayat orang2 malang itu ke dalam kubur satu persatu. Pekerjaan yang melelahkan karena aku hanya sendirian.
Ketika aku hendak mengangkat mayat pemimpin rombongan aku mendengar dia mengerang tertahan. Ternyata dia masih hidup. Aku membawanya ke sisi jalan dan kusandarkan dia ke sisi celah2 batu yang teduh. Dia tak sadarkan diri tapi aku tahu dia masih hidup. Kusobek kain alas pelana dari punggung kudaku untuk menutup lukanya. Puji tuhan darahnya berhenti. Aku bersihkan tubuhnya dengan air minum yang aku bawa. Aku duduk di hadapannya, kudoakan dia kepada tuhan Yesus agar tetap hidup. Aku menunggu dan terus menunggu. Aku ingin dia bangun dan bicara padaku. Aku ingin mohon maaf kepadanya untuk segalanya, sebab Kerajaan Sorga ada dalam maaf manusia dan ampunan tuhan Yesus.
Siang merayap dan matahari sudah sangat tinggi. Pria itu masih tetap tak sadarkan diri. Aku terus duduk di sana. Menjelang sore, kulihat dia mulai membuka matanya. Wajahnya mengerut menahan kesakitan. Dia bergerak untuk mengubah posisinya, aku membantunya. Kuberi dia minum dengan sekantung air yang kubawa. Dia tersedak, dan batuk2. Tenggorokannya sempit, kurasa.
“Kenapa kau tidak membunuhku?”, tanya pria itu. Berat dia mengeluarkan suaranya menahan kesakitan.
Aku tidak bisa menjawabnya. Aku diam saja. Kutatap tanah yang kosong. Segala pertanyaan berkecamuk dalam hatiku, aku tak mau menanggung beban pertanyaan lagi.
“Aku tidak tahu!”, sahutku. “Yang kutahu, tuhan Yesus mengajariku mengasihi.!”.
“Tapi aku bukan orang Kristen!”.
“Kau tetap makhluknya! Kau tetap milik tuhan Yesus!”, kataku. “Jangan bicara lagi, nanti lukamu tambah parah!”.
Pria itu tak sadarkan diri. Kuangkut dia ke sebuah gua yang ada di dekat situ. Kubuatkan alas tidur dan kuselimuti dia dengan mantel salib merahku. Aku pulang ke benteng, dan kembali dengan membawa obat2an dan selimut. Aku akan menolongnya. Namun aku tetap tidak bisa membawanya ke benteng. Gua itulah tempat paling aman. Aku bawakan makanan untuknya sampai dia ber-angsur2 pulih seminggu kemudian. Semuanya kulakukan dengan rahasia, kalau tidak aku akan dituduh berkhianat.
“Aku mohon maaf!”, kataku. ”Untuk apa yang sudah kami perbuat padamu. Aku sudah menguburkan semua mayat rombonganmu!”.
“Semua milik Allah dan semua akan kembali kepada Allah!”, katanya sedih. “Kenapa kau mau menolongku?”.
Aku diam sejenak. “Karena tuhan Yesus berbelas kasih kepada manusia!”.
“Kalau Yesus berbelas kasih kenapa kami dibantai?”. Mata tajam pria itu bertanya kepadaku. Aku diam saja, tak mampu menjawabnya.
“Orang2 Saracen telah membantai umat Kristen di tanah suci saat mereka menguasai tanah suci dahulu. Mereka melarang umat Kristen menggelar Misa dan membuat kehidupan mereka susah.”, sahutku tegas. “Paus Agung memerintahkan kami untuk merebut tanah suci dan menghancurkan kaum Saracen!”.
“Kau dari Eropa!”, kata pria itu. “Kau tak tahu apa2 tentang tanah suci. Paus pun tak tahu apa2! Tujuh turunan aku tinggal di Arsuf, di pinggiran Jerussalem, aku tahu bagaimana kondisi sebenarnya di sana. Dan apa yang diceritakan itu semuanya adalah tidak benar. Semuanya fitnah!”.
“Aku memintamu menceritakannya kepadaku!”, kataku. Kulihat ada kejujuran yang aneh di dalam kata2 Pria itu.
“Nabi kami, Muhammad, memang memerintahkan kami berperang. Tapi dia melarang kami untuk membunuh wanita, anak2, orang tua, dan rahib2. Kami dilarang menebang pohon dan dilarang menghancurkan biara. Dan perintah itu benar2 kami taati, karena itu semua adalah perintah Tuhan!”, katanya. “Kami dilarang membantai musuh yang sudah menyerah, kecuali jika Tuhan mengijinkannya, dan kami dilarang mencincang mayat!”.
Aku memperhatikannya dengan seksama. Karena aku ingin kebenaran yang bisa menjawab semua pertanyaan di kepalaku. Tak peduli dari mana kudapat jawaban itu, walaupun dari orang Saracen.
“Semenjak Jerussalem kami kuasai, dibuka kuncinya oleh tangan Khalifah Umar sendiri, tidak pernah kami menganiaya orang Kristen. Kedamaian dan toleransi terus kami jaga. Kami tidak pernah memaksa seorang rahib pun untuk masuk agama kami. Sampai Godfroi datang dan menghancurkan semuanya.!”, dia menjelaskan. “Dia membantai begitu banyak orang seperti menjagal hewan. Bahkan banyak juga orang kristen yang dia bunuh! Kaum Yahudi pun tak luput.”.
Halilintar seperti menyambarku. Apakah kata2nya benar? Aku diam terpaku memandang mata pria itu. Aku ingin tahu apa yang ada di balik hatinya.aku ingin kebenaran.!
“dahulu Bani Saljuk memang melarang sebuah parade Misa orang Kristen yang membawa pedang dan sering membuat kerusuhan di tengah2 keramaian. Bahkan jatuh korban karena parade Misa itu. Bani Saljuk melarangnya karena untuk menjaga ketertiban bersama dan toleransi ibadah,, seharusnya membawa kedamaian,bukan korban!”
Ada dorongan yang aneh dalam hatiku untuk mempercayainya. Namun sebisik suara berhembus di hatiku, pria di hadapanku itu kaum Saracen.orang barbar yang tidak beradab,heretis, dan suka membunuh. Segala pandangan dan citra buruk yang ditanamkan kepadaku oleh Paus, Raja2, Baron2, dan siapapun orang kristen begitu mempengaruhi aku. Namun saat aku menginjakkan tapak kakiku di tanah suci, aku lihat sendiri mereka bukan bangsa barbar dan tidak beradab seperti yang selama ini digambarkan. Bangunan2 mereka kokoh dan indah. Tata kotanya juga indah, walaupun ku lihat keindahan itu sudah hilang karena tanah suci sudah dikuasai orang Kristen hampir seratus tahun, aku tahu cara hidup mereka jauh dari kebersihan dan kebaikan. Di tanah suci kutemukan berbagai benda2 berguna yang belum pernah kutemukan sama sekali di Eropa. Kutemukan buku2 yang memuat berbagai ilmu pengetahuan berharga, yang semuanya itu ku tahu dibuat oleh orang2 Saracen yang selalu digambarkan buruk, barbar, dan tidak beradab oleh orang Kristen Eropa. Semuanya membelalakkan mataku.
“kami tidak pernah membantai orang Kristen, atau memaksa mereka keluar dari Kristen.!” Pria itu menceritakan semuanya dengan semangat
“Tuhan Yesus lah yang telah memerintahkan kami untuk menggelar perang suci ini.!” Kataku.. “karena kami harus menguasai kota ini dan menyelamatkan orang Kristus yang tersesat.”
“Paus atau Yesus yang memerintahkan perang ini?”,, tanya pria itu...”karena benarlah apa yang kau katakan tempo hari : Yesus memerintahkan welas asih dan mustahil memerintahkan pembantaian seperti ini.”
Keningku mengkerut, aku berpikir keras mencerna kata2 pria itu. Aku ingin memahaminya.
“kami sangat mencintai Yesus!” katanya... “tapi bukan sebagai Tuhan, melainkan sebagai Rasul utusan Tuhan. Sama dengan Rasulullah Muhammad!”
Kerutan di keningku makin dalam, sebab aku berpikir keras.
“Yesus tidak pernah mengangkat dirinya menjadi Tuhan! Dia memerintahkan untuk menyembah Tuhan yang Esa, yang menciptakan langit dan bumi. Rahib2 Kristenlah yang telah mengubah ayat2 Injil, dan mereka bekerja sama dengan Kaisar Konstantin kemudian mengangkat Yesus menjadi Tuhan, dan menciptakan Kristen!”
Aku terkejut pada pria itu. Begitu luas pengetahuannya tentang agama Kristen, padahal dia orang Saracen. Sementara apa yang diceritakannya tak pernah ku dengar keluar dari mulut Uskup ataupun Paus. Alkitab terlalu suci bagi orang2 rendahan seperti aku, dan hanya orang suci seperti Uskup atau Paus lah yang boleh menyampaikan kandungan Alkitab kepada kami.
“di dalam Injil, Yesus mengabarkan bahwa akan lahir seorang Rasul setelah dirinya, dari bangsa Arab.” Pria itu meneruskan.. “dan dia memerintahkan semua pengikutnya untuk menaati Rasul itu setelah dia dibangkitkan. Yesus mengajarkan untuk menyembah Tuhan yang Esa, Rasulullah Muhammad pun mengajarkan untuk menyembah Tuhan yang Esa dan menolak anggapan bahwa Tuhan memiliki anak seperti apa yang diyakini orang Kristen, sebab Yesus tak pernah mengajarkannya. Menjadi Muslim dan mengikuti perintah Rasulullah Muhammad sebenarnya adalah perintah dari Yesus sendiri.”
Kepalaku pening mendengar semua penjelasan pria itu. Otakku seakan meloncat-loncat. Perutku mual! Aku benar2 tidak mengerti kenapa semuanya jadi begini. Ku topang keningku dengan tanganku.
“itulah yang sebenarnya.!” Pria itu tersenyum kepadaku. Senyum yang tulus.
“aku tidak memaksamu untuk memperayai aku!” lanjutnya... “semuaya terserah kepadamu. Kewajibanku adalah mengajakmu . marilah masuk Islam, marilah kembali menyembah Tuhan yang Esa, Allah Subhanahu wata’ala. Hanya Dia satu2nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia Esa adanya.”
“kau cepatlah pergi dari sini.” Kataku... “aku takut cepat atau lambat tempat persembunyian ini bisa diketahui, dan itu akan mengancam jiwamu. Cepatlah pergi sekarang juga. Kau telah sembuh. Aku buatkan bekal sedikit untukmu, dan ambillah uang ini!”
“terima kasih!” katanya.... “aku berdoa kepada Allah, semoga Dia memberikan kepadamu kebaikan yang banyak di dunia dan akhirat!”
“bergegaslah!!”
Pemuda yang tidak pernah ku ketahui namanya itu berlalu. Dia meninggalkan sesuatu dalam benakku yang sepenuhnya baru. Aku tidak tahu apa yang ku rasakan, sedih atau gembira! Aku tidak tahu. Sore itu aku pulang ke benteng!
Malam naik dengan kegalauan dan kegelisahan di hatiku. Aku bingung tentang segala makna kebenaran. Tentang Tuhan. Segala pembicaraanku dengan pemuda itu membawaku pada sebuah alam berpikir yang lain. Sebuah alam berpikir yang lebih luas dan bebas, keluar dari semua penjara doktrin yang diajarkan Paus dan Gereja. Sungguh sebuah dunia yang baru, yang aku belum pernah memasukinya. Aku menyadari satu hal, bahwa aku harus lebih banyak berpikir, menggunakan akalku untuk mencari mana yang benar. Tidak boleh lagi ada ketundukan buta kepada Paus atau Gereja. Atau kepada siapapun sebelum aku benar2 memikirkannya dan benar2 menyadari bahwa hal itu benar.
Ini semua membuatku terlalu menaruh hormat lagi pada khotbah2 pendeta. Semuanya tak berharga kalau hanya dusta belaka. Aku jadi tidak suka dengan kawan2ku sesama prajurit Kristus. Di mataku justru mereka lebih buas dan bejat, perilaku dan bahasa mereka lebih menyebalkan daripada orang2 Saracen. Semenjak itu aku bersumpah untuk terus belajar dan mencari kebenaran.
[[]]
Malam itu seluruh prajurit Kristus berbaris di padang rumput. Reynald de Chatillon mengumumkan bahwa Saladin sudah menduduki Acre, dan besok kami akan bergabung dengan tentara pimpinan Raja Guy de Lusignant di Jerussalem dan akan bersama-sama menghadapi Saladin di Acre. Kami harus mempersiapkan diri untuk berperang.
“kenapa kita harus membantai orang2 Saracen?” tanyaku. Saat itu aku sedang menggosok pedangku bersama George.
“apa masalahmu Phillipe?” George keheranan... “sepertinya kau selalu saja mempersoalkan apa yang selama ini diperintahkan pada kita. Apakah kau tidak suka dengan perintah Tuhan?”
“aku hanya ingin yang benar. Aku hanya tidak ingin kita menjadi gerombolan penjahat. Sebab apapun alasannya, pembantaian yang selama ini kita lakukan tetap tak bisa aku terima.”
“kau kenapa Phillipe?” nada George makin tinggi. “kau ingin menentang perintah Tuhan Yesus?”
“Tuhan Yesus memerintahkan kita mengasihi manusia. Dia tidak mungkin menyuruh kita membantai dan memporak-porandakan seperti sekarang, siapapun itu.”
“mereka Saracen!” tukas George. “mereka kaum sesat yang tidak percaya kerajaan Sorga dan tidak memepercayai Tuhan Yesus!”
“mereka atau kita yang sesat?” sahutku. Dan George pun kesal.
“mereka membunuh umat Kristus dan membuat kesengsaraan!”
“kita membantai lebih banyak dari mereka!” tak tahu kenapa ku layani semua perkataan George. Ku masukkan pedangku kedalam sarungnya.
“apa kau ingin berkhianat?”, George marah dan mencabut pedangnya, menciptakan kegaduhan dan mengundang perhatian prajurit lain. “penghianat seperti kau harus mati!”
Aku berdiri dengan tenang dan mendekati George. Ku cabut lagi pedangku dan ku tatap matanya.
“aku tidak peduli lagi pada semua ini! Akan ku cari kebenaran yang sesungguhnya!”. George melotot kepadaku. Nafasnya memburu! Tangannya teguh menggenggam gagang pedang. Kami bersahabat dan sama2 berasal dari Chatillon.
Prajurit yang lain mulai berdatangan mengerumuni kami. Aku berlari meraih tali kekang kudaku keluar benteng. Pedangku ku genggam dengan mantap. Kupacu kudaku sekencang-kencangnya. Akan aku kejar kebenaran itu, dan kudapatkan dimana pun dia berada. Itulah sumpahku kepada diriku sendiri.
Dan ketika semuanya telah ku pilih, berbahagialah aku dengan semua pilihanku itu, ketika ku tahu itu semua adalah kebenaran. Kebenaran yang sungguh manis ku rasakan. Ku larikan kudaku menuju Acre malam itu. Akan aku cari Saladin...
Saat matahari sudah datang, gelap terusirlah. Ketika ilmu tiba, kebodohan lenyap. Apabila kebenaran sudah sampai, kesalahan tak mungkin bertahan lagi. Aku bersumpah akan mencari kebenaran dan hidup diatasnya. Aku pacu kudaku, berlari menembus hawa yang dingin. Pedang tersemat di pinggangku. Mantel salib merahku masih membalut tubuhku, berkibar-kibar dilalui angin. Kurapatkan dia, berlindung dari dingin. Aku terus pacu kudaku, tak peduli malam mencekam. Aku akan ke Acre, akan aku cari Saladin. Aku ingin bicara dengannya! Aku ingin menemukan jawaban dari semua kegalauanku!
Beberapa hari kemudian derap langkah berdebu kudaku mendekati Acre. Dari atas sisi bukit aku melihat kemah2 orang Saracen. Ada ribuan pasukan Saladin sedang beristirahat. Aku tunggu sampai malam menjelang, di pinggir hutan dekat sana, aku bersandar pada sebuah pohon besar dan terlena dalam keteduhannya. Kelelahan benar2 menggerayangi tubuhku. Saat aku bangun, malam telah gelap. Namun bulan purnama begitu elok di angkasa, sehingga mataku tidak terlalu sesat.
Kutunggangi kudaku, dia berjalan perlahan menuruni bukit mendekati perkemahan Saracen. Seorang prajurit melihatku. Dia memberitahu temannya dan menyiagakan diri mereka menghadapiku.mereka mencabut pedang mereka. Salah seorang dari mereka berteriak memanggil beberapa orang teman mereka yang lain. Kusadari sebuah keanehan, perkemahan itu terlalu sepi untuk sebuah perkemahan ribuan pasukan yang akan berperang dalam beberapa hari ke depan. Kemana semua orang? Apakah mereka tidak takut akan serangan mendadak dari musuh atas kemah mereka? Yang kulihat sedang berjaga hanyalah beberapa prajurit saja, yang tersebar di beberapa titik di kemah itu.
Kudaku terus melangkah perlahan mendekati kemah itu. Beberapa orang prajurit berlari mendekatiku dan mengepungku sambil menghunus pedang dan tombak. Mereka menodongku. Aku tidak heran mengapa mereka bersikap seperti itu, sebab mereka melihat mantel salib merahku yang sangat mencolok. Dengan tenang aku mengangkat tangan tanda menyerah.
“aku tidak bermaksud jahat!” kataku pada mereka. Kupaksa diriku setenang mungkin. “aku ingin bertemu dengan Saladin. Aku ingin bicara dengannya.”
Mereka tetap tidak mengurangi kewaspadaan dan tetap mengacungkan senjata mereka kepadaku. Salah seorang dari mereka berbisik kepada temannya.
“orang kafir selalu berdusta.”
“aku sudah perintahkan yang lain menyisir daerah ini. Mungkin dia membawa teman.” Kata yang lain..
“aku tidak bermaksud jahat!” aku mengulangi.. “aku bukan mata2 atau apapun. Aku juga bukan utusan siapapun. Aku datang kesini atas kemauanku sendiri.”
Ku lemparkan pedangku dan jatuh berdentang di hadapan mereka. Tanganku tetap kuangkat ke udara dan aku turun dari kudaku.
“sekarang aku tidak bersenjata!”, kataku meyakinkan mereka..
Apa yang aku lakukan ternyata tidak membuat orang2 Saracen itu melonggarkan kewaspadaannya. Kagum aku dengan ketaatan prajurit Saracen itu kepada pemimpin mereka. Sering aku lihat tentara Kristus lari dari medan perang karena ketakutan. Sementara sering pula kulihat jumlah pasukan Saracen jauh lebih sedikit daripada pasukan Kristus, namun mereka tetap sabar dan maju berperang dengan gagah berani seperti singa terluka.
Seorang prajurit menyergapku dan mengikat tanganku ke belakang. Dia langsung mengawalku menuju sebuah kurungan kayu beroda.
“bawa aku pada Saladin. Aku mohon!!! Aku hanya ingin bicara dengannya.” Aku memberontak, namun mereka mengunci tanganku sehingga aku tak bisa bergerak. Todongan senjata mereka tak pernah mereka turunkan.
“penghianat seperti kau tak akan pernah bertemu Sultan.” Kata salah seorang prajurit. “orang kafir tak bisa dipercaya.”
“bawa aku pada Saladin.” Aku meronta-ronta dan berteriak-teriak.. “mana Saladin?”
“diam kau!!!” hardik mereka. Mereka mengeratkan kuncian pada bahu dan tanganku, sehingga aku sama sekali tidak bisa bergerak. Mereka juga membekap mulutku dengan kain. Mereka memasukkan aku ke dalam kurungan kayu itu.
Beberapa orang dari mereka berdatangan karena teriakanku menarik perhatian mereka. Aku melihat salah seorang dari mereka sepertinya tak asing. Ternyata pria itu adalah pemuda pemimpin rombongan Saracen yang pernah ku tolong dahulu. Dia tersenyum padaku dan langsung mengenali aku.
“cepat keluarkan dia.” Perintahnya,, “dia tidak berniat jahat. Aku lah yang menjaminnya.”
“tapi komandan, dia orang kafir.!” , prajurit Saracen itu mempertanyakan perintah pria yang ku tahu adalah pemimpin rombongan Saracen, rombongan yang dibantai prajurit Kristus dulu, yang ternyata adalah seorang komandan pasukan Saracen.
“sudah kubilang, aku lah jaminan laki2 itu.” Katanya,,, “aku yang akan mengawasinya dengan ketat. Sekarang keluarkan dia!”
Merasa tak berguna untuk berdebat, prajurit itu mengeluarkan aku dari kurungan. Membuka bekapan kain di mulutku dan ikatan tanganku.
“terima kasih!” kataku,, ku gosok2 tanganku sebab nyeri. “ternyata kau seorang komandan.”
“aku juga berterima kasih padamu, karena kau sudah menolongku dulu.” Sahut pria itu, “ kita belum saling berkenalan,, namaku Ahmad.”
“namaku Phillipe , aku dari Perancis.”
“sungguh Allah Maha Kuasa!” kata Ahmad. “akhirnya Dia mengabulkan doa Sultan. Sekarang kau ada disini.”
“apa maksudmu?” aku heran dengan apa yang dikatakannya. Apakah Saladin mendoakanku?
“setelah aku selamat karena pertolonganmu, aku menghadap Sultan dan ku ceritakan semua yang terjadi.”,,Ahmad menceritakan. Dia mengajakku duduk di dekat sebuah api unggun yang menebarkan kehangatan pada sekitarnya.
“ku lihat Sultan murka, dan Beliau bersumpah Beliau sendirilah yang akan menghukum Reynald atas perbuatannya, sebab melanggar perjanjian, membantai, dan menginjak-injak kehormatan Islam. Untuk itu jugalah kami disini malam ini.”
Aku mendengarkan ceritanya dengan seksama. Memang aku akui bahwa aku sendiri tidak menyukai apa yang banyak dilakukan tentara Kristus dan para pemimpin mereka.
“aku juga menceritakan tentangmu, dan Sultan sangat gembira. Beliau mendoakanmu agar bahagia di dunia dan akhirat, dan Beliau ingin sekali bertemu denganmu. “ Ahmad tersenyum padaku,,, “dan kau lihat , Allah telah mengabulkan doa Sultan. Sekarang kau ada disini, akan aku antarkan kau pada Sultan, mari!”
Ahmad mengajakku. Kami bangkit meninggalkan api unggun itu dan berjalan. Aku mengikuti Ahmad. Aku tak tahu kemana dia akan membawaku.
“kalau boleh ku tahu.” Kataku,, “kenapa perkemahan pasukanmu sangat sepi?kemana semua orang?
Ahmad tersenyum. “kau akan tahu sebentar lagi.”
Kami terus berjalan menyusuri kemah2 kosong yang diterangi liukan kobaran api pada obor. Hingga sampailah kami pada kemah yang paling ujung, di belakangnya, di balik sebuah gundukan tanah, pada permukaan rumput di sebuah dataran di Acre, ku lihat sebuah pemandangan yang menakjubkan yang seumur hidupku belum pernah aku lihat. Apa yang aku lihat kemudian menjawab pertanyaanku, tentang mengapa kaum Saracen selalu menang dalam tiap pertempuran walaupun jumlah mereka sedikit.mengapa mereka begitu gigih dan kuat!!
Di sana, di sebuah dataran luas berumput itu kulihat ribuan prajurit Saracen sedang berbaris, bersujud di tengah2 angin dingin dan cahaya remang obor yang ditancapkan disekitarnya. Mereka bersujud kepada Tuhan mereka dalam sepi dan heningnya malam. Kulihat paling depan Saladin memimpin mereka dalam ibadah itu. Setiap Saladin berdiri, ribuan prajurit mengikutinya, sungguh sebuah ketaatan yang belum pernah aku lihat. Saladin membaca sebuah bacaan yang begitu merdu dan membuat hatiku rawan saat mendengarnya. Mungkin itulah bacaan Al-Quran, kitab suci orang2 Saracen. Kulihat beberapa prajurit menangis tersedu-sedu memohon ampunan dari Tuhan. Mereka semua seperti rahib yang berdiri dan bersujud demi cinta pada Tuhannya dan menangisi dosa2 mereka pada malam hari. Dan mereka berubah menjadi prajurit2 tangguh yang tidak pernah kenal takut pada siang hari. Dadaku gemetar melihat semuanya ini. Sebab apa yang aku lihat pada diri prajurit Kristus sungguh sangat berbeda. Mereka senang mabu-mabukan, dan kerap membawa perempuan ke dalam benteng untuk memuaskan nafsu rendah mereka. Mereka bukan tentara Kristus bagiku, tapi tentara Iblis. Apa yang mereka lakukan tidak pernah diajarkan Tuhan Yesus.
“Beginilah kebiasaan kami setiap malam.” Kata Ahmad,,. “sebagian dari kami sholat tahajjud dan sebagian lagi menjaga kemah. Kami bergiliran melakukannya. Semuanya itu akan diganjar pahala oleh Allah.”
“demi Tuhan aku tidak pernah melihat yang seperti ini. Sungguh pemandangan yang sangat indah.” Kataku takjub.
“Sultan menjadi imam di depan sana” Ahmad menunjuk,, “sholatnya sudah selesai, mari aku antar kau menemui Sultan.”
Ahmad mengantarku menyusuri barisan demi barisan prajurit Saracen yang sedang beribadah itu ke tempat paling depan untuk menemui Saladin. Aku melihat prajurit2 Saracen terkejut begitu melihat aku ada di depan mereka. Apalagi aku masih mengenakan mantel salibku.
“Assalammu’alaikum, Sultan!” kata Ahmad . akhirnya sampailah aku di hadapan Saladin. Dia duduk bersila di atas sebuah karpet yang berumbai di tiap sisinya. Di belakangnya ribuan prajurit Saracen dalam posisi yang sama, menghadap ke arah yang sama. Aku melihat ada kecurigaan di mata mereka saat memandangku.
“Wa’alaikummussalam!” sahut Saladin. “silahkan duduk wahai Ahmad!” suara Saladin berat , namun lembut. Ada kerinduan dalam hatiku untuk selalu mendengar suaranya saat membaca bacaan ketika beribadah tadi. Sungguh syahdu dan damai di telingaku. Raut muka Saladin sungguh tenang dan bercahaya. Aku berdiri di belakang Ahmad. Saladin melihatku namun dia tersenyum, tak ada raut kecurigaan di wajahnya padahal salib besar warna merah darah terpampang di mantelku yang menandakan bahwa aku adalah musuhnya. Janggutnya hitam dan matanya tajam cemerlang. Dia sangat tegap dan perkasa untuk pria seusianya. Aku sering melihat dia bertempur dengan gagah yang membuatnya terlihat lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Dia memakai sorban putih yang diselendangkan di salah satu bahunya. Pedangnya siaga di sisinya.
Ahmad duduk di hadapan Saladin. Dia menuntun tanganku untuk duduk di sebelahnya. Duduklah aku di hadapan ribuan tentara Saracen, yang membuat jantungku berdegup lebih kencang.
“Sultan, doa Sultan telah di kabulkan Allah.” Kata Ahmad,, “inilah dia laki2 yang telah menolongku itu,Sultan. Dia datang sendiri untuk menemuimu.”
Saladin tersenyum padaku. Aku gemetar. “siapa namamu?”, tanyanya
“namaku Phillipe, Yang Mulia Paduka Sultan.”
“cukup panggil aku Sultan saja.” Pinta Saladin. “dan aku memintamu melepas mantel salib itu, karena hanya musuh kami yang memakainya. Sementara kau kami terima bukan sebagai musuh.”
“terima kasih,Sultan.” Aku segera melepas mantel salib merahku dan menghempaskannya jauh2.
“aku meengucapkan terima kasih, karena kau telah begitu baik mau menolong dan membela prajuritku.” Saladin menepuk-nepuk bahu Ahmad.
“aku hanya melaksanakan perintah Tuhan Yesus kepadaku. Aku kesini ingin menemuimu, aku ingin membicarakan sesuatu yang selalu mengganggu hidupku.”
“jika aku cukup berilmu untuk menjawab, maka aku akan menjawabnya.”
“aku ingin tahu yang sebenarnya tentang apa itu Islam dan siapa Muhammad. Kitab seperti apa Al-Quran itu. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Sebab apa yang aku tahu selama ini adalah doktrin Gereja dan semua pandangan mereka itu buruk. Tolong beri tahu aku yang sebenarnya.”
Saladin tersenyum,begitu juga Ahmad. Di hadapan ribuan tentara Saracen, Saladin memberi tahu aku tentang Islam. Menceritakan padaku siapa Muhammad, dan membuka kitab Al-Quran bersama-sama. Tak tanggung2, Saladin juga membuka Alkitab di hadapanku. Tak kusangka Saladin tahu banyak hal tentang Alkitab dan Kristen. Aku tidak pernah membaca dan mempelajari Alkitab secara langsung, dan dalam penjelasan Saladin ku pahami dan kulihat benar2 buku seperti apakah Alkitab itu. Sungguh aku puas dan bahagia. Aku puas dan serasa melambung ke langit ketujuh. Jelas sudah dihadapan mataku mana yang benar dan mana yang salah. Saladin memberi aku bukti. Mengajakku merenung dan berpikir dengan akal yang jernih. Aku sungguh kagum kepadanya. Intelektualitasnya sungguh luar biasa. Aku bersyukur. Dan malam yang panjang itu, padang rumput Acre yang gelap itu, serta ribuan prajurit Saracen itu menjadi saksiku.
“kami adalah Muslim,” , kata Saladin , “ penyembah Tuhan yang satu, pengikut Rasulullah Muhammad yang memurnikan agama Rasul2 terdahulu yang sudah banyak diselewengka orang. Jadi jangan sebut kami Saracen, karena kami bukan Saracen.”
“Sultan...” aku bulatkan tekad dan keberanianku,keputusan seumur hidupku akan ku buat malam ini.., “aku ingin menjadi Muslim.”
Seketika meledaklah pujian2 kepada Tuhan. Suara2 penuh suka dan kegembiraan memenuhi padang rumput di Acre.
“aku mohon ajari aku.” Aku melihat sorak-sorai dan tawa gembira. Ribuan pasukan muslim melompat dan bersyukur. Mereka mencium dan memeluk satu sama lain, seakan-akan mereka adalah saudara kandung. Aku tersenyum!!
Saladin tetap tenang duduk bersila. Dia mengangkat tangan kanannya dan ribuan tentara muslim itu dengan otomatis diam dan kembali dalam posisi semula. Malam kembali menjadi hening, yang terdengar hanya desau angin.
“Allah Maha Pemberi Petunjuk” Saladin begitu tenang dan aku benar2 merasakan kemuliaan terpancar dari matanya.,, “sekali kau masuk Islam tak pantas kau kembali lagi mengingkarinya. Apakah kau benar2 meyakini pilihanmu?”
“Demi Tuhan Yang Esa, karena pelajaran dari Sultan lah sehingga sekarang aku memilih menjadi muslim. Karena Sultan telah mengajari aku dengan bukti2 yang membuat aku puas. Semua pertanyaan di dalam jiwaku terjawab sudah.” Ahmad memperhatikan aku bicara. ,”aku meyakini Islam dengan segenap hatiku. Aku ingin menyembah Allah Yang esa dengan benar. Allah yang sama disembah oleh Yesus dan Rasul Muhammad.”
Bulan penuh bercahaya kuning emas. Segalanya hening, seakan-akan mendengarkan apa yang aku ikrarkan.
“aku bersumpah akan aku peluk Islam sampai matiku. Karena aku tahu itulah yang benar.”
Saladin tersenyum. Dia berdiri menghadap ke arah dia beribadah. Seluruh prajurit muslim mengikutinya. Ahmad pun melaksanakannya. Aku duduk diam tak mengerti. Bersama-sama mereka bersujud. Aku bergegas megikuti apa yang meerka lakukan walaupun aku tidak menegrti.tak lam mereka kembali ke posisi semula.
“apa yang tadi kita lakukan Sultan?” tanyaku,
“kita melakukan sujud syukur. Setiap seorang muslim mendapatkan nikmat dalam hidupnya dari Allah,Rasulullah Muhammad mengajarkan kita untuk bersujud kepadaNya. Dan kehadiranmu malam ini adalah sebuah nikmat yang sangat agung bagi kami.”
Aku bahagia, ribuan pasukan muslim bersujud karena mensyukuri kehadiranku
“apa yang harus kulakukan,Sultan?” aku mendesak, “aku benar2 ingin menjadi muslim.”
Saladin tersenyum kepada Ahmad. Lantas Ahmad mengantarkan aku ke sebuah kemah. Dia memintaku membasuh wajah dan tubuhku dan mengganti pakaianku dengan pakaian yang lebih bersih dan harum, berwarna putih. Tak lama aku kembali lagi ke padang rumput itu. Ahmad mengiringi aku.
Aku berlutut. Dadaku bergemuruh! Saladin membacakan kepadaku sebuah kalimat suci yang wajib dibaca semua orang yang akan menjadii muslim. Dia mengjarkanku maknanya. Juga sumpah agung dan suci yang ada di balik tiap susunan kata2nya, sehingga aku benar2 memahaminya.aku menyaksikan bahwa tidak pernah ada Tuhan lain,selain Allah yang Esa, pencipta langit dan bumi beserta isinya. Dan Rasulullah Muhmmad adalah benar2 utusan Allah, yang telah teguh menjalankan amanat agungNya dan janjinya. Dengan mantap dan teguh aku mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang akan membuat hidupku berbeda selama-lamanya. Aku bersumpah seumur hidupku untuk selalu menaatiNya dengan segenap kemampuanku dan menjauhi semua laranganNya. Akan ku serahkan segala yang aku punya untuk menegakkan agamaNya. Aku bersumpah!! Aku merasakan tubuhku telah suci. Segala najis telah luruh dari kulitku. Dan lepaslah sudah segala gemuruh di dadaku.
Guruh kegembiraan pecah memenuhi malam, keluar dari ribuan tentara muslim saat menyaksikan aku masuk islam. Saladin berdiri , dia menyuruhku bangkit, dan dia menggenggam tangnku.
“ada persaudaraan yang lebih kuat daripada persaudaraan karena darah.” Saladin berkata kepadaku,,, “persaudaraan itu adalah persaudaraan dalam iman. Kau lihat, semua prajurit muslim di sini dan semua orang muslim di seluruh dunia adalah saudaramu. Mereka akan menjaga dan membelamu, seperti satu tubuh. Aku pun adalah saudaramu. Bersama-sama kita akan menegakkan agama Allah di muka bumi ini dan menghancurkan kezaliman orang2 kafir.”
Saladin mencium kedua pipiku seperti mencium anak kandungnya, dia memeluk aku erat sekali, seakan tak ingin melepaskanku. Ahmad memelukku dan menepuk-nepuk bahuku. Seluruh prajurit muslim melompat kegirangan. Puja-puji kepada Tuhan naik ke angkasa, mengantarkan aku kembali pulang pada Tuhan Yang Maha Esa. Malam itu sungguh menggembirakan aku. Aku bermimpi berlari di sebuah taman yang sangat indah. Di sisiku ada seorang perempuan yang sangat cantik, namun tidak aku kenal. Sungguh semuanya begitu baru.
Aku bersyukur kepada Tuhan Yang Esa. Tidak pernah ada kebahagiaan hidupku, tidak pernah ada ketenangan di dalamnya, kecuali setelah aku memeluk Islam. Aku akan membela keyakinanku ini apapuun yang terjadi. Aku merasa telah lahir kembali.
Dan disinilah, di sisisi karang tanduk Hattin, aku tegak kepada langit, setelah Tuhan memberi aku kehidupan sebagai manusia yang sesungguhnya, kuakhiri risalahku. Sebab disana, di hadapan pelupuk mataku, kulihat kerajaan Sorga di tengah2 gemuruh derap musuh2 Tuhan. Dan aku tidak sabar untuk segera memasukinya......
Fajar menyingsing, mengantarkan datangnya sebuah hari yang baru. Sebuah hari yang aku percaya akan penuh dengan kemenangan Islam. Walaupun sebenarnya, apapun kenyataan yang terjadi, tak pernah kaum muslim kalah. Jika mati, maka kemenangan syahid yang didapat. Jika hidup, maka kemuliaan di dunia dan di akhiratlah bagi mereka.
Hari ini aku mendapatkan saudara baru yang baik sekali. Phillipe namanya. Dia orang Eropa,dari Prancis. Sebelumnya dia adalah anggota Pasukan Salib. Kemenangan untuk Islam telah turun semenjak tadi malam , karena masuk Islamnya Phillipe. Begitu pula hari ini, InsyaAllah.
Sholat pertama kali yang dilaksanakan Phillipe adalah sholat shubuh tadi pagi. Kami melaksanakan sholat shubuh berjamaah yang dipimpin oleh Sultan Shalahuddin. Phillipe belum tahu bacaan sholat, sehingga dia hanya mengikuti gerakan kami sholat. Pagi ini kami duduk di dekat sebuah api unggun yang hangat di dekat kemah. Aku mengajari Phillipe membaca surat Al-Fatihah. Aku memegang sebuah Al-Quran di hadapanku.
“surat ini pendek, hanya tujuh ayat. Cukup mudah menghafalkannya.” Kataku,, “walaupun pendek, seluruh makna Al-Quran terkandung di dalam tujuh ayat ini. Surat ini disebut juga ummul Quran. Induknya Al-Quran.”
“aku memintamu mengajariku,Ahmad!” kata Phillipe ,, “aku juga ingin menjadi ulama seperti Sultan!”
“Al-Quran ini untukmu.” Kataku, . aku berikan Al-Quran bersampul putih yang ku pegang itu. “hadiah!” ,. Dia tersenyum menerimanya. Dia timang2 Al-Quran itu seakan anak kesayangannya. Di dekapnya kitab suci itu di dadanya.
Aku ajari Phillipe surat Al-Fatihah. Ku ajari dia maknanya, dan bagaimana dia membacanya. Kemampuan menghafalnya sangat cepat, sungguh menakjubkan. Dia sudah lama tinggal di Tanah Suci sehingga dia sudah tidak asing lagi dengan bahasa Arab, hal itu makin memudahkannya memahami banyak hal.
“komandan, Sultan memanggilmu menghadap!” tiba2 seorang prajurit memanggilku.
“ada apa rupanya?”
“menyusun strategi jihad hari ini!” kata prajurit itu
“sebentar!” kataku pada Phillipe,, dia mengangguk padaku.
“maaf,, Sultan ingin Phillipe juga bergabung.”
Aku dan Phillipe bergegas menuju tenda Sultan Shalahuddin. Seluruh prajurit mempersiapkan diri dan senjata mereka untuk jihad hari ini. Seisi perkemahan mulai sibuk.
“Ahmad dan Phillipe, kemarilah!” Sultan menyambut kami saat kami memasuki tendanya. Disana telah berkumpul seluruh komandan pasukan, termasuk Al-Afdal, putra Sultan Shalahuddin, yang baru saja tiba pagi ini dari Damaskus.
“Phillipe, perkenalkan ini putraku.” Sultan memperkenalkan putranya pada Phillipe.
“saudaraku,Phillipe.” Al-Afdal memeluk erat dan mencium kedua pipi Phillipe.
“terima kasih.” Kata Phillipe.
Sultan dan seluruh komandan pasukan yang hadir disana mengelilingi sebuah peta yang diletakkan di atas sebuah meja.
“kelompok pengintai menginformasikan bahwa di Tiberias kekuatan militer yang ada sangat lemah, maka kita akan memulai futuhat hari ini ke Tiberias. Kita akan mengepung benteng Tiberias dan mendudukinya. Sebab saat ini Raymond tidak ada disana. Yang ada hanya Ratunya.”
“maaf Sultan, dari arah Jerusallem akan datang sebuah pasukan yang sangat besar yang dipimpin langsung Raja Jerusallem, Guy de Lusignant! Sebenarnya sebelum kesini, tadinya aku akan bergabung dengan pasukan itu!” kata Phillipe,, “kekuatan prajuritnya sebanyak 50 ribu orang yang dipimpin Reynald de Chatillon, Amalric, William de Montferrat, Gerald de Ridefort, Humphrey de Toron, Hugh de Jabala, Plivain de Botron, Raymond de Antioch, Joscelin de Edessa, dan Balian de Ibelin.”
“pasukan pengintai pun mengatakan bahwa pasukan dari Jerusallem itu telah ada di sekitar mata air Saffuriyah, jaraknya masih cukup jauh dari Tiberias!” Sultan Shalahuddin menjelaskan. “kita kuasai Tiberias pagi ini sebab di dalam pasukan itu ada Raymond , Raja Tiberias dan kita pancing mereka agar mereka menjauhi Saffuriyah. Sebelum mereka sampai di Tiberias, mereka akan kelelahan dan kepanasan, sebab dalam jarak sejauh itu tak ada sumber air lain selain di Tiberias. Saat mereka memakan umpan kita, kita kirim pasuukan untuk mengepung Saffuriyah, dan celah di tanduk Hattin. Sehingga kita mengepung mereka dan mereka tidak memiliki tempat untuk mundur lagi.”
Taktik sudah diputuskan, maka kami berserah diri kepada Allah dan mempersiapkan segalanya untuk penyerangan pagi ini ke benteng Tiberias.
“Ahmad, kau pimpin pasukan untuk futuhat ke Tiberias. Phillipe, kau bergabung di bawah komando Ahmad!” perintah Sultan. Kami siaga!
Hari masih pagi. Matahari baru sepenggalahan. Namun Tiberias telah kami taklukkan dengan gilang gemilang. Kulihat Phillipe bertempur dengan gagah berani. Aku menempatkan pasukan muslim di dalam benteng Tiberias, mengepung citadel Ratu Eschiva. Pasukan utama pimpinan Sultan Shalahuddin tersembunyi di Kafr Sabt, tak jauh dari Tiberias. Kami menunggu siang hari sambil mempersiapkan diri untuk pertempuran yang lebih besar lagi hari ini. Aku berdiri di gerbang benteng Tiberias bersama Phillipe.
“pasukan musuh sangat besar!” kata Phillipe . kulihat Phillipe mengusap-usap gagang pedangnya. Matanya memandang ke satu titik di balik cakrawala. Di belakang bukit tempat dimana 50 ribu pasukan musuh itu mungkin berada.
“yah, terkadang kekhawatiran itu juga datang padaku!” kataku,, “sebuah kekhawatiran yang sangat manusiawi.”
“jumlah pasukan kita hanya 12 ribu orang. Artinya seorang prajurit harus membunuh tak kurang dari 6 orang.” Aku tersenyum melihat kekhawatirannya. Di dalam diri setiap manusia pasti ada ketakutan. Tapi ada satu hal yang pasti, yaitu janji Allah.
“saudaraku..” kataku,, “semenjak perang untuk membela agama ini pertama kali dimulai oleh Rasulullah Muhammad, kami tak pernah berperang karena jumlah pasukan atau persenjataan.”
Aku duduk diatas jembatan diambang gerbang benteng Tiberias. Phillipe duduk bersamaku. “di dalam perang seperti inilah kami sering menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri bahwa janji Allah adalah benar. Saat kita mengayun pedang melawan mereka, saat itulah Allah menyiksa mereka melalui tangan kita. Saat kita memanah, Allah lah yang mengirim panah itu kepada mereka. Allah akan menolong kita. Dia akan mengirimkan tentara malaikat yang tidak kelihatan. Betapa sering terjadi bahwa jumlah pasukan yang sedikit bisa mengalahkan jumlah pasukan yang banyak dengan pertolongan Allah.”
Mata Phillipe tidak teralihkan dari bukit kecil di hadapannya itu.
“ada satu hal yang dimiliki pasukan muslim, yang tidak dimiliki siapapun.” Kataku,, “kaum muslim lebih mencintai kematian sebagaimana orang2 kafir mencintai kehidupan. Mati sebagai syahid adalah sebuah kematian yang paling mulia. Dan hadiah dari Allah bagi mereka adalah masuk sorga secepat kilat.”
Kulihat Phillipe tersenyum. Matahari makin terik di angkasa. Datanglah seorang prajurit muslim berkuda mendekati kami. “Assalammu’alaikum, komandan!” katanya,, “perintah dari Sultan!”
Dia menyerahkan sebuah surat perintah. Ku baca surat itu dengan seksama.
“Phillipe, pasukan musuh telah meninggalkan Saffuriyah dan Sultan telah mengirimkan pasukan dari sisi lain untuk mengepung Saffuriyah. Kita bersiap. Kita akan mengganggu mereka.”
Segera ku himpun pasukanku di Tiberias, tak lama kemudian kami keluar benteng Tiberias. Aku memacu kudaku sekencang-kencangnya. Phillipe berkuda di sisiku. Tibalah kami di bukit kecil, cukup dekat dengan pasukan salib itu. Kami berhenti disana. Aku melihat jumlah pasukan salib yang sangat besar, namun mereka kepanasan dan kehausan. Sumber air terdekat hanya akan mereka temukan di dalam benteng Tiberias. Allah akan memberi pertolonganNya kepada kami.
Pasukan Salib melihat pasukanku yang berkumpul diatas bukit. Ku genggam erat bendera hitam yang diwariskan Rasul, aku ikatkan dia pada tombakku. Pedangku terhunus.
“innallaha ma’ana...” pekikku,, “sesungguhnya Allah bersama kita.”
“Allahu Akbar.” , raung Phillipe dengan lidah Eropanya. Dia mengangkat pedangnya tinggi2. Dia mencium kalimat syahadat yang tertulis di bendera hitam yang aku pegang. “Allaahu Akbar.”
Kami menyerbu pasukan kafir itu dengan kekuatan dari Tuhan. Kami melarikan kuda kami menyerang mereka. Kami menuruni bukit dengan pedang terhunus, sementara mereka tersiksa kepanasan dan kehausan. Derap langkah menguapkan keringat dan mengkabutkan angkasa. Kami menyerang pasukan berkuda terdepan. Jumlah pasukan mereka sangat banyak namun mereka minim kesiagaan sebab mereka sudah lebih dulu tersiksa oleh panas terik dan haus. Mereka letih!
Phillipe bertempur dengan gagah. Aku melihat dia bertarung dengan seorang prajurit Salib yang sepertinya dia kenal. “sekarang aku akan membunuhmu, kau pengkhianat Tuhan Yesus!”teriak prajurit Salib itu kepada Phillipe.
“akulah orang yang sangat mencintai Yesus, sebab dia utusan Tuhan. Bukan kau, George! Kau sesat!”. Kata Phillipe.
Dia menodongkan pedangnya.”menjadi muslimlah kau, maka dosa2mu akan diampuni. Kalau tidak, akulah malaikat kematianmu.”
“jangan pernah kau bermimpi!!” jeritnya,, “pengkhianat harus mati!!”
Phillipe melarikan kudanya dan menyerang orang yang dipanggilnya George itu. Mereka mengadu pedang mereka.
Suara besi beradu dengan besi memenuhi udara. Aku menusukkan pedangku ke perut seorang prajurit kafir dan dia tersungkur ke tanah. Ku angkat panji hitam yang ku bawa tinggi2, memberi tanda pada prajuritku agar kembali mundur ke Tiberias sesuai rencana. Misi serangan pengganggu telah berhasil.
Saat aku memecut kudaku untuk mundur, kulihat Phillipe telah berhasil membunuh George dengan memenggal lehernya.
“siapa dia?” tanyaku
“dulu dia sahabatku ,!” sahut Phillipe. Sungguh getir!
Dia pun memacu kudanya mengikuti aku. Pasukanku mundur ke bukit kecil. Kami terus memacu kuda sampai melewatinya. Disana ku lihat pasukan Sultan Shalahuddin telah bersiap siaga, keluar dari Kafr Sabt. Kami langsung bergabung dengan pasukan Sultan.
“bagus sekali!” puji Sultan.
Sultan Shalahuddin melihat Phillipe dan tersenyum
“bagaimana perasaanmu Phillipe ? dengan jihadmu yang pertama ini?”
“aku sangat bahagia Sultan.” Sahutnya
“tak pernah ada kekalahan bagi kita.”
“benar,Sultan! Tak pernah!” Phillipe menggenggam pedangnya kuat2.”
“persiapkan semuanya!” , perintah Sultan pada seluruh pasukan. Semua bersiaga dengan senjata dan posisinya...
Sultan Shalahuddin menempatkan pasukan panah yang bersiaga diatas bukit2 kecil untuk menghujani pasukan Salib dengan panah. Pasukan utama di tengah, di pimpin langsung oleh Sultan, terdiri dari kavaleri dan infanteri. Pasukan sayap kiri di pimpin Al-Afdal. Aku dan Phillipe di dalam pasukan sayap kanan, dan aku menjadi komandannya.
Siang makin terik di padang rumput itu dan pasti akan semakin menyiksa pasukan Salib. Sementara kami telah mengisi penuh kantung2 air kami. Ketika hari sudah sampai di tengah-tengahnya, kami lihat pasukan kafir itu datang. Ketika mereka sudah memasuki jarak tembak, Sultan memerintahkan pasukan panah untuk menembak. Aku melihat ribuan anak panah berjatuhan ke arah pasukan kafir itu seperti air hujan jatuh ke bumi. Kamilah yang menjadi awan hitam dari hujan panah kematian itu. Pasukan Salib itu berlindung di belakang tameng2 mereka. Mereka berjatuhan tertusuk panah. Ada yang di mata, leher, kepala, dan bagian tubuh mereka yang lain. Pasukan panah kafir membalas menembak kami. Kami pun berlindung di balik perisai. Mereka makin dekat.
Sultan Shalahuddin mengangkat bendera hitam berukir kalimat syahadat itu dan berteriak,, “innallaha ma’ana..... Allaaaahuu Akbaarrr” . Sultan mengacungkan pedangnya dan gema takbir dari seluruh prajurit menggelegar memenuhi angkasa menggentarkan Pasukan Salib. Takbir, dimana-mana takbir. Aku percaya ribuan malaikat telah turun dari langit membantu pasukan muslim, dan orang2 yang ingkar itu akan segera kami kalahkan.
Pasukan yang di pimpin Al-Afdal maju lebih dahulu. “hari ini pasukan kafir musnah. Allaaahu Akbaarr.” Pekik Al-Afdal. Pasukannya maju menyerbu pasukan kafir dari sisi kiri. Perang pecahlah sudah!
Pasukanku masih tetap bertahan di posisinya, menunggu perintah dari Sultan. Aku melihat jumlah Pasukan Salib begitu banyak dan tidak sebanding dengan jumlah pasukan muslim. Mereka mengusung panji2 salib, dan membawa sebuah tiang salib yang sangat besar, serta memakai pakaian perang berlambang salib merah. Pasukan muslim tak gentar dan terus maju menyerang.
“pasukan muslim sungguh perkasa!” tiba2 Phillipe bicara. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. “aku sudah lama merasakannya. Bahkan sebelum aku menjadi muslim, aku selalu bertanya-tanya mengapa pasukan muslim begitu berani. Dan aku sekarang sudah tahu jawabannya.”
“kau bagian dari pasukan muslim sekarang. Aku melihat kau pun bertempur dengan gagah berani!” kataku,
“aku belum pernah sama sekali merasakannya seperti apa yang aku rasakan sekarang.” Katanya,, “menjadi muslim sungguh bahagia. Aku merasakan keberanian di dalam jiwaku, lebih dari saat aku menjadi Kristen. Sebab aku tahu aku berperang untuk sesuatu yang lebih tinggi, lebih mulia. Sebab aku tahu apa yang aku bela adalah benar.”
Tiba2 aku melihat raut wajah Phillipe berubah. Dia terlihat seperti orang terkejut dan keheranan karena memandang sesuatu yang menakjubkan. Sedetik kemudian dia tersenyum. Matanya tertuju pada satu titik.
Jarinya menunjuk pada sesuatu. “kau lihat itu Ahmad?” katanya,, “itulah kerajaan Sorga.”
Aku keheranan. Aku mengikuti kemana arah pandangan dan telunjuknya. Yang aku lihat hanya kecamuk pertempuran dan darah, serta karang tanduk Hattin yang mencuat angkuh di tengah-tengahnya.
“taman-tamannya sungguh indah. Itu dia!” katanya,, aku makin tidak mengerti apa yang di bicarakan Phillipe. “selalu saja perempuan itu! Selalu saja dia! Lihatlah kesana, Ahmad! Lihatlah!”
Aku tidak berkata apa2. Aku benar2 tidak mengerti. Phillipe bersemangat menunjuk-nunjuk sesuatu yang tidak jelas.
“mari Ahmad,kita kesana! Ayolah kita kesana bersamaku!! Aku ingin segera kesana!” , Phillipe memaksaku untuk segera maju, dia menarik-narik tali kekang kudaku. “lihatlah, pintunya penuh cahaya. Akhirnya aku temukan kerajaan Sorga.”
“sebentar Phillipe!” aku menahannya, ku genggam tangannya. “Sultan belum memerintahkan kita maju.sebentar!!”
“ayolah! Aku tidak sabar lagi. Aku ingin kesana!” , Phillipe mencengkram tanganku, namun matanya tak mau lepas dari satu titik yang dia lihat.
“maafkan aku Ahmad!aku duluan!” , Phillipe memacu kudanya dan melarikannya dengan cepat meninggalkanku. Dia menyongsong musuh sendirian.
“Phiiiliiipe!!!” aku berteriak memanggilnya. Dia tidak mendengarku. Dia masuk dalam kabut kecamuk perang yang membubung ke angkasa. Aku tidak bisa melihatnya lagi.
Tak lama kemudian kami melihat pasukan musuh sudah terdesak ke padang rumput Hattin. Karang tanduk Hattin berdiri tidak peduli. Pasuukan yang di tempatkan disana sebelumnya telah mengepung dan mulai menghancurkan mereka. Sultan mengangkat bendera hitamnya dan aku pekikkan, “Allaaaahuu Akbaarrr...” . kami maju bersama-sama menuruni bukit dan menyerbu padang rumput yang basah oleh darah itu. Ku pimpin pasukanku memukul mundur pasukan kafir. Kuayunkan pedangku menghantam tentara musuh, sebagai hukuman bagi mereka sebab telah membuat kerusakan di muka bumi. Aku menusukkan pedangku ke tubuh2 kotor mereka. Allah akan memberi kami kemenangan!!
Aku merangsek maju, makin rapat pada tanduk Hattin. Aku mencari Phillipe di tengah2 pertempuran itu. Samar2 aku melihat Phillipe sedang bertarung dengan Amalric, adik raja kafir Jerussalem, persis di sisi tanduk Hattin yang jauh di depan, dan masih menjadi area yang dikuasai musuh. Dia berhasil menusukkan pedangnya ke jantung Amalric dan robohlah dia bersimbah darah. Pekik takbir membahana, dan aku lihat Reynald de Chatillon menebasnya dari belakang hingga melukai punggungnya. Lantas Reynald de Chatillon menendangnya sampai jatuh, tenggelamlah dia dalam kecamuk. Aku tak bisa melihatnya lagi.
Aku meraungkan takbir, aku maju menerjang ke tengah2 musuh. Menghancurkan dan membunuh mereka semua untuk menaati perintah Tuhan. Akan aku kejar Reynald de Chatillon, si pembantai kafir itu. Sayang langkahku tertahan oleh rapatnya peperangan. Ku ayunkan pedangku menusuk dan memenggal. Seorang rajurit Salib melukai tanganku, tapi aku tak merasakannya. Aku cabik perutnya dan aku tendang kepalanya, darahnya berurai.
Sultan Shalahuddin bertarung dengan perkasa. Dia benar2 murka kepada orang2 kafir yang selalu membantai kaum muslim. Perang terus berkecamuk. Guy de Lusignant membuat barikade pertahanan di dekat tanduk Hattin. Pasukan muslim mengepung mereka semalaman, membuat mereka kehausan dan kelaparan dalam barisan barikade mereka sendiri.ku cari2 Phillipe di sekitar tanduk Hattin, tapi tak kutemukan. Aku tidak mengerti kemana dia pergi, padahal aku lihat dia jatuh di sekitar situ. Hingga fajar menyingsing kami berhasil menghancurkan pasukan kafir sehancur-hancurnya. Sungguh sebuah kemenangan yang luar biasa.
Pagi itu, begitu perang reda, aku terus mencari Phillipe. Akhirnya aku temukan dia duduk bersandar di salah satu sisi Tanduk Hattin. Wajahnya tertunduk kepada bumi. Bibirnya tersenyum, sebab Tuhan telah meluluskan cita-citanya, memasuki kerajaan Sorga yang selalu dia nyanyikan selama ini. Dia telah Syahid! Aku berlutut di sisinya. Di tangan kirinya dia genggam Al-Quran bersampul putih pemberianku yang saat itu telah berubah merah karena bersimbah darahnya. Tangan kanannya memegang pedang dengan kokoh sampai akhir. Aku berlutut di sisinya, menunduk hormat dengan takzim menjunjung tinggi seorang mujahid mulia.
Betapa Tuhan menyayangimu, saudaraku. Bisik hatiku. Kemarin malam , dia baru saja masuk Islam , hari ini dia ku temukan telah Syahid sebagai seorang pahlawan Islam. Aku cium kedua pipinya, ku peluk erat dia buat yang terakhir kali. Aku simpan Al-Quran dan darahnya yang suci. Air mata sudah tidak bisa aku tahan lagi.
Sultan Shalahuddin menepuk pundakku. Dia berdiri di belakangku. “betapa bahagianya Phillipe!” katanya, . sultan berlutut di sisinya. Di peluknya Phillipe, dan di ciumnya kedua pipinya. Segera ku hapus air mataku. Aku mengubur jenazahnya yang berbalut kemulian darah dan baju perangnya di bawah bayang2 matahari pada Tanduk Hattin . aku berdoa di pusaranya! Aku berdoa kepada Tuhan, aku harap Dia memberi aku kehidupan dan kematian yang indah seperti Phillipe.
Dengan tangannya sendiri, Sultan Shalahuddin memenggal leher Reynald de Chatillon, sebagai balasan atas kebiadaban yang sudah dia lakukan. Kemenangan ini menjadi kemenangan besar bagi kaum muslim , sebab tak beberapa lama kemudian Tanah Suci Jerussalem berhasil kami taklukkan. Kami berhasil mengembalikann ke sucian kota itu dengan cahaya dan kesempurnaan Islam. Dan hari itu aku saksikan, segala janji telah di tepati.
0 Response to "Kisah Roman Haitin"
Posting Komentar